Rabu, 04 April 2012

Tante Sandra, TANTEKU yang paling MANTAP

Kuparkir mobil di area pelataran parkir tempat peristirahtan itu, mencari tempat yang teduh yang aman dan nyaman, menyandarkan kepala sejenak ke sandaran jok. Yang terpikirkan padaku saat ini adalah kembali ke bungalow, mungkin disana kami dapat menenangkan pikiran sejenak. Kulirik Tante Sandra, tampak terpekur menunduk dengan mata terpejam, aku menyadari bahwa sebenarnya beliau tidak tidur, tapi mungkin kalut dengan pikiran-pikiran di otaknya.

Aku membuka pintu mobil, keluar, kembali menutupnya perlahan, kemudian melangkah, mengitari bagian depan mobil, menuju pintu kanan mobil, membuka dengan perlahan, menggamit lengan Tante Sandra seraya mengajaknya turun. Tante Sandra dengan muka lesu, mengikuti ajakanku. Aku membimbingnya berjalan keluar areal parkiran dan menuju bungalow tempat kami menginap.

Berjalan melangkah pelan, terdiam seribu bahasa, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami, menyusuri jalan berbatu yang tampak masih panas akibat sengatan matahari, menunduk, memikirkan apa yang terjadi dan apa yang harus kami lakukan.
Tante Mala dan Om Herman, aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka terlibat cinta terlarang. Ada perasaan kesal, sedih, sesak campur aduk di hatiku, aku yang sangat menghormati dan menyayangi Tante Mala, yang harus kulindungi dikala Om Mirza pergi, ternyata membuat perselingkuhan dengan Om Herman, teman bisnisnya. Namun disisi lain ada rasa cemburu dihatiku, kenapa harus dengan Om Herman ?, kalau memang hanya sekedar kebutuhan seks, kebutuhan akan birahi yang terpendam, kenapa harus dengan dia ? kenapa tidak dengan Aku ? aku mungkin juga sanggup untuk memuaskannya !. Memang Om Mirza, dengan segala aktifitasnya yang selalu keluar kota, mungkin ini menyebabkan akan tuntutan hasrat birahi Tante Mala kurang terpenuhi, yang jelas aku sangat menyayangkannya.

Kupapah Tante Sandra, membuka pintu bungalow yang terkunci, membiarkannya melangkah. Aku menutup pintu kamar bungalow itu, ikut masuk kedalam dan menutupnya kembali. Kulihat Tante Sandra melangkah pelan, duduk dipinggiran ranjang, menunduk, terdiam.
Aku hanya memperhatikannya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku, baik untuk membuka percakapan ataupun berkata-kata untuk menenangkannya.

Tak lama kemudian, beliau bangkit berdiri, penuh tanda tanya aku memandangnya, ia seolah tak menyadari bahwa ada aku didalam kamar tersebut. Aku terperangah dibuatnya, melihat apa yang dilakukan oleh Tante Sandra. Kulihat Tante Sandra perlahan membuka bajunya, membuka kaos ketat coklatnya, disusul kemudian dengan rok mini ketatnya, berikut celana dalamnya. Aku semakin terperanjat.


Kulihat beliau berjalan melenggok, membelakangiku, menuju lemari pendingin yang ada di dekatnya, membungkuk mengambil minuman didalamnya. Kuperhatikan dari botol minuman tersebut, itu adalah jenis minuman beralkohol kadar tinggi, meneguknya beberapa kali, seakan-akan haus mendera, cukup untuk membuatnya mabuk, dan semua itu dilakukan didepanku tanpa busana.

Aku hanya terpaku melihat keadaannya, ada rasa iba, kasihan, namun aku tak tahu apa yang harus kulakukan, kulihat ia meneguk minuman dalam botol itu beberapa kali lagi, kemudian meletakkannya diatas meja kecil disamping tempat tidur, dengan muka tampak kusut dan pandangan kosong, seakan tak peduli aku ada disitu melihatnya, memandanginya, memperhatikan segala tingkah lakunya, dan seakan memancing birahiku untuk bangkit.

Menghampiri pembaringan, Tante Sandra mengangkat kakinya, menjejakkan lututnya merangkak ke atas tempat tidur, makin terpana aku dibuatnya. Paha putih, mulus, panjang, bulat, mantap membelakangiku, seolah ingin memberi tahukan kepadaku bahwa beliau mempunyai sesuatu yang sangat indah, menyesallah orang yang mengabaikannya. Menyesallah Om Herman dengan apa yang telah dimilikinya namun tidak dimanfaatkannya.


Tenggorokanku serasa tercekat, lidahku serasa kering, tak mampu mengeluarkan suara apapun, pandanganku semakin gelap dan nanar, melihat pemandangan yang disuguhkan kepadaku, otakku semakin butek, ngeres, sementara sang iblis berbisik-bisik ditelingaku untuk memanfaatkan kesempatan, seolah memberikan persetujuan dan pembenaran kepadaku untuk melakukan sesuatu.

Aku bergerak bangun, kuhampiri tempat tidur dimana badan Tante Sandra rebahan, Tante Sandra melihatku sekilas, memandangku dengan pandangan kosong, menatapku seakan memintaku untuk mengerti apa yang sedang terjadi padanya, mengetahui apa yang berada dalam pikirannya.
Aku menghampiri meja kecil disamping tempat tidur itu, mengambil sisa minuman yang tadi diminumnya, meneguknya beberapa kali hingga tandas tak tersisa.


Aku duduk disisi tempat tidur, didekat kakinya, memandangnya yang tidur tertelungkup, memperhatikan setiap lekuk tubuhnya. Kuperhatikan matanya menerawang entah kemana, seakan tak sadar akan keadaan dirinya. Terdiam, tak peduli aku duduk didekatnya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, kuperhatikan wajahnya, lesu, sendu, seperti hendak menangis, kemudian tersenyum sesaat, meringis, seolah akan berteriak namun tak terlaksana.


Tiba-tiba seakan terkaget, ia membalikkan badannya, telentang, menghadap keatas. Matanya kini memandangku dengan sayu, melihat kearah mataku dengan sorot matanya yang memelas.

Aku terpana menatapnya, ingin sekali aku memeluknya namun aku tidak mempunyai keberanian, aku hanya berani menatapnya, memandangnya saja. Tante Sandra mengangkat kedua tangannya, mengarahkannya ke kedua payudaranya, memegangnya. Aku hanya berani menatapnya, kulihat ia meraba-raba kedua payudara yang montok, besar, putih dan kencang itu, meremas-remasnya sendiri, meraba kedua putingnya. Aku hanya terpaku menatapnya.


Tak lama kemudian Tante Sandra mengangkat badannya, beringsut seakan menghampiri diriku, memindahkan posisi badannya, kini kepala beliau berada di dekatku. Tersenyum menatapku, seakan ingin mengajakku berbicara, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menatapku tajam, menghampiri diriku yang terpaku didekatnya.

Didekatinya diriku, mendudukkan dirinya, dirangkulnya bahuku, mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kurasakan hawa napas memburu di wajahku, hembusan napas tak teratur keluar dari hidung Tante Sandra, semakin dekat dan semakin panas. Entah aku harus bertindak apa, aku hanya diam terpaku, malah kini kurasakan bibirnya menyentuh bibirku, menempel dan mengecup perlahan. Aku membuka mulutku ketika kurasakan ada dorongan lidah keluar dari mulutnya, kumiringkan wajahku dan tanpa aku sadari aku membalas ciumannya.
Kami berciuman lama sekali, tanganku tanpa kusadari ikut bermain, memeluk punggungnya, mengarahkan kebelakang kepalanya, agar lebih menekannya untuk memberikan tekanan agar lebih merapat ke kepalaku. Entah dari mana datangnya keberanian aku memegang bahunya, mendorongnya kebelakang, jatuh terlentang, menjauh dariku.


Namun itu bukanlah penolakan dariku, aku kini malah menindihnya, memeluknya dengan kencang dan kembali menciumi bibirnya. Tante Sandra tampak terengah-engah, matanya kulihat semakin sayu. Aku memindahkan ciumanku dari bibirnya, kini kuarahkan kearah lehernya, menciuminya beberapa saat, dan kini aku memindahkan sasaran ciuman ketempat yang aku suka. Aku menciumi kedua payudaranya, perlahan berputar mengelilingi putingnya, dan kemudian mengecup kedua putingnya. Tampak wajah Tante Sandra makin tidak karuan, desahan-desahan halus terdengar, mengingatkanku akan desahan-desahan yang kudengar tadi di tempat kerja Om Herman, desahan Tante Mala.
Aku semakin meradang, kumainkan lidahku di ujung puting kanannya, sementara kedua tanganku meremas-remasnya, mengecupnya lagi dan kemudian kuhisap perlahan, perlahan, dan kesentakkan untuk menghisapnya secara keras. Terdengar lenguhan dari mulut Tante Sandra, sepertinya ia menikmati permainanku. Dan aku sepertinya ingin memberinya kenikmatan yang diinginkan, seolah ada rasa dendam dari diriku, ingin membalas perbuatan Om Herman terhadap Tante Mala, dengan menyetubuhi istrinya.


Kuhentikan sasaranku pada payudaranya, kini kuarahkan ciuman bertubi-tubi ke arah bawah dadanya, keperutnya, terus kebawahnya. Menuju gundukan yang menonjol diatas selangkangannya, ditumbuhi bulu-bulu halus yang cukup lebat. Aku merabanya, merasakan tonjolan daging tersebut, menciuminya perlahan, kuangkat kepalaku sebentar untuk melihat ekspresinya, kulihat ia mengengadahkan kepalanya memegang salah satu kepalanya dengan tangannya, seakan sangat menikmatinya.


Tampaknya Tante Sandra semakin terlena, sekarang kuciumi bagian dalam pahanya, menelusurinya dengan lidahku, menjilatinya. Bunyi napas tak teratur diiringi dengan suara lenguhan dan desahan-desahan semakin keras kudengar, dan semakin membangkitkan gairahku, penisku semakin keras dan tegang. Kurasakan gelinjang tubuh Tante Sandra, menggeliat-geliatkan kepalanya ketika lidahku menyentuh bagian dalam selangkangannya. Kurasakan ada cairan membasahinya, kuraba dengan jari-jariku, meraba-raba dan mengucek-uceknya perlahan, dan sedikit-sedikit kumainkan jariku disana.


“ahh.. ” kudengar suara desahan semakin jelas, tak ada rasa sungkan lagi untuk merasakan kenikmatan, tiba-tiba ia bangkit dari posisinya yang rebahan, mengangkat kepalnya dan mendorongku agar jatuh terlentang, aku kaget dan khawatir, sepertinya ia hendak menghentikan semua ini.
Namun kekhawatiranku tidak terbukti, kutatap wajahnya, ia menatapku balik, tak perduli, merangkak melewati kakiku, mendudukkan pantatnya di atas selangkanganku. Tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat pantatnya dalam posisi jongkok, memegang penisku yang telah tegang dan mengeras sejak tadi. Rupanya Tante Sandra sudah tidak sabar, ingin segera mamasukkan penisku kedalam vaginanya.

Pelan tapi pasti, ia mengarahkan penisku kedalam vaginanya, aku hanya menatapnya, menunggunya. Meleset sekali, dua kali, dan tak lama kurasakan penisku seperti memasuki ruang yang sempit, perat mencengkeram dan basah licin, hangat. Dan tak lama kemudian kulihat tante Sandra mengangkat dan menurunkan pantatnya berulang-ulang, semakin kurasakan kenikmatan penuh sensasi ini.


Tante Sandra terus dan terus menaik-turunkan pantatnya, berulang-ulang, sesekali beliau tidak mengangkatnya namun memutar dan menggoyang-goyangkannya diatasku, kemudian diangkatnya lagi, terus dan terus. Kutatap keatas tampak wajahnya menengadah, seakan-akan sangat menikmatinya, payudaranya yang putih dan ranum dengan putingnya yang mengeras, coklat kemerah-merahan, memancingku untuk memegang dan meremas-remasnya, agar kenikmatan yang aku dan dia alami dapat lebih puas.


Beberapa menit berlalu, tampak Tante Sandra menjerit kecil, sepertinya beliau sudah mencapai orgasmenya, menjatuhkan badannya diatas dadaku, memelukku dan menciumiku sambil mengeluarkan suara desahan yang sulit keterjemahkan. Aku terdiam sambil membalas pelukannya, aku belum merasa puas, belum merasakan klimaks dari persetubuhan ini, dan aku ingin mendapatkan lebih.

Kebalikkan tubuh tante Sandra disisiku, kini berbalik aku berada diatasnya, Tante Sandra sepertinya berusaha mencegahku, mungkin merasa bahwa ia belum siap setelah orgasmenya tadi, namun aku tak perduli, segera saja kuarahkan moncong kejantananku ke lobang vaginanya.

Menerobosnya, selagi lubang itu masih dalam keadaan licin, kurasakan penisku lebih hangat dari sebelumnya, mendorongnya perlahan hingga kepangkalnya. Pelan-pelan kudorong, dengan menaikkan dan menurunkan pantatku, sehingga penisku otomatis keluar masuk, bergesek-gesek dengan vaginanya, semakin lama semakin cepat.

Tampaknya Tante Sandra mulai kembali lagi merasakan kenikmatan, kini desahan-desahan dan lenguhan-lenguhan mulai menghiasi lagi suara-suara yang keluar dari mulutnya, dengus napas tak teratur mulai terasa lagi, aku makin ganas, mengocok-ngocokan penisku didalam vaginanya. Membuatnya semakin terlena.

Aku menaik-turunkan pantatku, mengocok-ngocokkan penisku didalam vaginanya, cepat dan semakin cepat. Menindih badannya dengan badanku, memeluknya erat, diselingi ciuman-ciuman ganas disekujur tubuhnya, dibibirnya, dilehernya, didadanya. Kadang aku menyentuh, meraba payudaranya, meremas-remasnya, memainkan putingnya. Memelintirkannya dengan mulutku, dan kadang menggigit pelan keduanya, bergantian, dan itu jelas semakin membuatnya kalang kabut tak karuan. Menggelinjang-gelinjangkan badannya, menggeleng-gelangkan kepalanya kanan kiri.


Entah ide dari mana, ketika sedang asyiknya memaju mundurkan penisku, tiba-tiba aku menghentikan kegiatanku tersebut.


Tante Sandra memberikan reaksi dengan menjerit perlahan, seolah memprotes akan apa yang aku lakukan. Aku meringis melihat reaksinya, ia seolah memohon agar aku melanjutkan apa yang telah aku lakukan, menggenjotnya kembali. Aku mengiyakannya, namun aku memintanya untuk membalikkan badannya, menyuruhnya untuk menungging, mengangkat pantatnya membelakangiku dan aku akan mengarahkan penisku dari belakang, ke lobang vaginanya.

Ia menurutiku, membalikkan badannya, menungging, diam aku sesaat, memandang pantat bulat, montok, munjung ini dihadapanku, pantat indah yang semula hanya menggodaku, dan aku hanya bisa memandangnya saja, kini telah tersuguh dihadanku, malah menyuruhku untuk merasakannya, menikmatinya. Aku mengarahkan penisku tanpa menunggu lama, memasukkan kedalam vaginanya dengan segera, perlahan kudorong dan memasukkannya sekaligus. Tante Sandra menjerit tertahan, mungkin kaget merasakan sentakan dari penisku, aku tersenyum kemudian menariknya perlahan, tampak Tante Sandra terpejam menikmati gerakanku.

Aku memeluknya dari belakang, seakan aku ingin menikmati sekujur tubuhnya tanpa ada yang terlewatkan. Aku memaju-mundurkan pantatku, agar penisku yang berada didalam lobang vaginanya bergesekan keluar masuk. Memeluk sambil menciumi punggungnya, memegang payudaranya dari belakang, meremas-remasnya dengan kasar, dan tidak ada penolakan apalagi perlawanan dari Tante Sandra. Kadang tanganku menarik rambut panjangnya yang tergerai, berusaha memalingkan mukanya agar menghadap diriku, menyorongkan bibirku agar Tante Sandra merasakannya, menciumi bibirku, mengadu lidah dengannya.

Tante Sandra seakan mengerti keinginanku, beliau juga sepertinya ingin mendapatkan sensasi lebih, yang mungkin sering didapatnya dari suaminya namun tidak dapat memuaskannya. Entah berapa lama kami melakukan itu, kuakui memang bila dilakukan dari belakang, rasa cengkeraman lobang vagina terhadap penisku semakin keras, seperti berat untuk dimaju mundurkan, namun biar bagaimanapun ini harus cepat dilakukan, aku takut bila sewaktu-waktu, pada saat aku belum mencapai titik puncak kenikmatan, Tante Mala dan Om Herman datang, entah apa jadinya.

Aku mempercepat goyanganku, cepat, dan semakin cepat, tante Sandra mungkin tahu akan keinginanku, kulihat beliau juga sudah mendesah-desah tak karuan, seakan sedang menjelang orgasmenya lagi, ia semakin ganas, menggoyang-goyangkan pantatnya kekiri dan kekanan, agar cengkeraman terhadap dedeku mungkin menjadi-jadi, aku kadang menepuk-nepuk dan meremas-remas pantat besar dengan pinggang kecil ini, menciumi punggungnya lagi.
Aku kembali menarik kepala Tante Sandra, merengkuhnya agar aku dapat menciuminya lagi, mungkin kalau ada yang menyaksikan, aku sepertinya sedang menyiksa wanita ini. Tersenyum aku membayangkannya, sementara peluh sudah bercucuran membasahi tubuh kami berdua. Aku terus menggenjotnya… terus….dan terus….

Hinga beberapa waktu kemudian kurasakan denyutan diujung penisku, lava panas siap memancar, memuncratkan seluruh isinya, sementara Tante Sandra juga sepertinya akan mengalami hal yang sama. Namun kemudian kulihat Tante Sandra lebih dulu sampai pada puncak orgasmenya, beliau kulihat menengadahkan kepalanya, menjerit tertahan dan kemudian menundukkan kepalanya. Aku takut beliau akan segera menarik pantatnya dari tusukan penisku, aku memegang pinggangnya, seperti menyuruhnya unuk bersabar sesaat, memaju mundurkannya dengan cepat, cepat dan makin cepat. Tante Sandra memahamiku ia membiarkan pantatnya, menggoyang-goyangkannya, menunggu aku mencapai klimaksku.


Beberapa menit kemudian, kurasakan sesuatu akan melesak keluar dari lobang penisku, kutarik cepat, menghindari agar muatannya tak tertumpah didalam. Kupegang erat kukocok-kocokan sebentar, kemudian kumuntahkan cairan putih kehijau-hijauan kental, ke bokongnya. Sesaat aku memandang cairan yang menempel dipantatnya, selanjutnya kurebahkan badanku, meraih tubuh Tante Sandra agar ikut rebah disampingku. Tante Sandra menempatkan kepalanya di dadaku, tersenyum kepadaku, mencium pipiku, seakan berterima kasih kepadaku karena telah memberikan kenikmatan kepadanya serta membalaskan perbuatan OM Herman.

Aku memandang wajahnya, membalas senyumannya, membayangkan bahwa baru kali ini aku mendapat kepuasan dari seorang wanita paruh baya, yang sangat cantik, dengan tubuh yang sangat menggiurkan bagi setiap laki-laki, yang mungkin hanya orang-orang kaya saja yang layak mendapatkan tubuh seperti ini. Namun hari ini, seorang wanita paruh baya, yang sangat cantik, bersuamikan seorang pelaku bisnis yang bonafid, menyerahkan tubuhnya kepadaku, seorang pria yang jauh dari tampan, dan boro-boro mapan. Terdiam dan melamun aku untuk sesaat, tiba-tiba kusadari bahwa apabila sekonyong-konyong Tante Mala dan Om Herman kembali dari perginya dan melihat keadaan kami berdua seperti ini, mungkin akan fatal dan menambah masalah semakin runyam. Aku menggeserkan badanku dari badan Tante Sandra, seolah meminta ijin kepadanya bahwa aku akan meninggalkannya, dan Tante Sandra sepertinya mengerti, membiarkanku turun dari ranjang.

Aku mengambil bajuku yang berceceran di tempat tidur itu, mengenakannya, memandang sekilas ke arah kaca, memastikan diri sudah rapi dan berjalan kearah pintu. Membuka pintu tersebut dan sekali lagi memandang wajah Tante Sandra, melihatnya tersenyum kepadaku, menutup pintunya dan berjalan kearah bungalowku.

------------------------------------------------------------------------------------------

Didalam kamar aku merenung membayangkan kejadian-kejadian tadi, masih terbayang jelas diwajahku, urutan-urutan kejadian dari semenjak kami datang hingga saat ini. Entahlah, pikiranku sepertinya kosong, aku berusaha memejamkan mataku, memaksakannya supaya hilang dari bayangan-bayangan tersebut. Kulihat dari celah-celah gorden, hari telah menjelang senja. Akhirnya kuputuskan untuk mandi, membersihkan sisa-sisa yang menempel ditubuhku, menyegarkan badan.

Beberapa menit aku berendam didalam bathtub, kadang aku melamun, memikirkan sesuatu, namun entah apa, kosong. Aku melanjutkan mandiku, menggosok-gosokan badan, dengan sabun dan shampoo yang telah disediakan oleh tempat itu, memastikan bahwa dibadanku tidak ada bekas-bekas pertempuran tadi. Cukup lama juga aku melakukan ritual ini.

Selesai mandi, dengan hanya menggunakan celana pendek, yang emang telah biasa aku lakukan sejak dulu, jarang aku menggunakan handuk melilit ditubuhku bila selesai mandi, lebih nyaman bila aku memakai pakaianku sejak dari dalam kamar mandi. Aku keluar kamar mandi, terkejut aku sesaat, karena saat itu disofa telah duduk seorang wanita cantik, sangat cantik, dengan baju terusan warna hitam, seolah sengaja menungguku selesai mandi. Aku memang tadi tidak sengaja atau memang terlupa untuk mengunci pintu kamar bungalow ini, mungkin aku tidak mendengar ada ketukan ataupun panggilan dari luar, aku melihat kepadanya berusaha tersenyum agar tidak kelihatan kaget, namun tidak ada balsan senyuman diwajahnya, hanya memandangku, menunggu aku bertanya dan mengucapkan kata-kata.

2 komentar: