Kuparkir mobil di area pelataran parkir tempat peristirahtan itu,
mencari tempat yang teduh yang aman dan nyaman, menyandarkan kepala
sejenak ke sandaran jok. Yang terpikirkan padaku saat ini adalah kembali
ke bungalow, mungkin disana kami dapat menenangkan pikiran sejenak.
Kulirik Tante Sandra, tampak terpekur menunduk dengan mata terpejam, aku
menyadari bahwa sebenarnya beliau tidak tidur, tapi mungkin kalut
dengan pikiran-pikiran di otaknya.
Aku membuka pintu mobil, keluar, kembali menutupnya perlahan, kemudian
melangkah, mengitari bagian depan mobil, menuju pintu kanan mobil,
membuka dengan perlahan, menggamit lengan Tante Sandra seraya
mengajaknya turun. Tante Sandra dengan muka lesu, mengikuti ajakanku.
Aku membimbingnya berjalan keluar areal parkiran dan menuju bungalow
tempat kami menginap.
Berjalan melangkah pelan, terdiam seribu bahasa, tidak ada kata-kata
yang keluar dari mulut kami, menyusuri jalan berbatu yang tampak masih
panas akibat sengatan matahari, menunduk, memikirkan apa yang terjadi
dan apa yang harus kami lakukan.
Tante Mala dan Om Herman, aku sama sekali tidak menyangka bahwa mereka
terlibat cinta terlarang. Ada perasaan kesal, sedih, sesak campur aduk
di hatiku, aku yang sangat menghormati dan menyayangi Tante Mala, yang
harus kulindungi dikala Om Mirza pergi, ternyata membuat perselingkuhan
dengan Om Herman, teman bisnisnya. Namun disisi lain ada rasa cemburu
dihatiku, kenapa harus dengan Om Herman ?, kalau memang hanya sekedar
kebutuhan seks, kebutuhan akan birahi yang terpendam, kenapa harus
dengan dia ? kenapa tidak dengan Aku ? aku mungkin juga sanggup untuk
memuaskannya !. Memang Om Mirza, dengan segala aktifitasnya yang selalu
keluar kota, mungkin ini menyebabkan akan tuntutan hasrat birahi Tante
Mala kurang terpenuhi, yang jelas aku sangat menyayangkannya.
Kupapah Tante Sandra, membuka pintu bungalow yang terkunci,
membiarkannya melangkah. Aku menutup pintu kamar bungalow itu, ikut
masuk kedalam dan menutupnya kembali. Kulihat Tante Sandra melangkah
pelan, duduk dipinggiran ranjang, menunduk, terdiam.
Aku hanya memperhatikannya, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutku,
baik untuk membuka percakapan ataupun berkata-kata untuk menenangkannya.
Tak lama kemudian, beliau bangkit berdiri, penuh tanda tanya aku
memandangnya, ia seolah tak menyadari bahwa ada aku didalam kamar
tersebut. Aku terperangah dibuatnya, melihat apa yang dilakukan oleh
Tante Sandra. Kulihat Tante Sandra perlahan membuka bajunya, membuka
kaos ketat coklatnya, disusul kemudian dengan rok mini ketatnya, berikut
celana dalamnya. Aku semakin terperanjat.
Kulihat beliau berjalan melenggok, membelakangiku, menuju lemari
pendingin yang ada di dekatnya, membungkuk mengambil minuman didalamnya.
Kuperhatikan dari botol minuman tersebut, itu adalah jenis minuman
beralkohol kadar tinggi, meneguknya beberapa kali, seakan-akan haus
mendera, cukup untuk membuatnya mabuk, dan semua itu dilakukan didepanku
tanpa busana.
Aku hanya terpaku melihat keadaannya, ada rasa iba, kasihan, namun aku
tak tahu apa yang harus kulakukan, kulihat ia meneguk minuman dalam
botol itu beberapa kali lagi, kemudian meletakkannya diatas meja kecil
disamping tempat tidur, dengan muka tampak kusut dan pandangan kosong,
seakan tak peduli aku ada disitu melihatnya, memandanginya,
memperhatikan segala tingkah lakunya, dan seakan memancing birahiku
untuk bangkit.
Menghampiri pembaringan, Tante Sandra mengangkat kakinya, menjejakkan
lututnya merangkak ke atas tempat tidur, makin terpana aku dibuatnya.
Paha putih, mulus, panjang, bulat, mantap membelakangiku, seolah ingin
memberi tahukan kepadaku bahwa beliau mempunyai sesuatu yang sangat
indah, menyesallah orang yang mengabaikannya. Menyesallah Om Herman
dengan apa yang telah dimilikinya namun tidak dimanfaatkannya.
Tenggorokanku serasa tercekat, lidahku serasa kering, tak mampu
mengeluarkan suara apapun, pandanganku semakin gelap dan nanar, melihat
pemandangan yang disuguhkan kepadaku, otakku semakin butek, ngeres,
sementara sang iblis berbisik-bisik ditelingaku untuk memanfaatkan
kesempatan, seolah memberikan persetujuan dan pembenaran kepadaku untuk
melakukan sesuatu.
Aku bergerak bangun, kuhampiri tempat tidur dimana badan Tante Sandra
rebahan, Tante Sandra melihatku sekilas, memandangku dengan pandangan
kosong, menatapku seakan memintaku untuk mengerti apa yang sedang
terjadi padanya, mengetahui apa yang berada dalam pikirannya.
Aku menghampiri meja kecil disamping tempat tidur itu, mengambil sisa
minuman yang tadi diminumnya, meneguknya beberapa kali hingga tandas tak
tersisa.
Aku duduk disisi tempat tidur, didekat kakinya, memandangnya yang tidur
tertelungkup, memperhatikan setiap lekuk tubuhnya. Kuperhatikan matanya
menerawang entah kemana, seakan tak sadar akan keadaan dirinya. Terdiam,
tak peduli aku duduk didekatnya. Entah apa yang ada di dalam
pikirannya, kuperhatikan wajahnya, lesu, sendu, seperti hendak menangis,
kemudian tersenyum sesaat, meringis, seolah akan berteriak namun tak
terlaksana.
Tiba-tiba seakan terkaget, ia membalikkan badannya, telentang, menghadap
keatas. Matanya kini memandangku dengan sayu, melihat kearah mataku
dengan sorot matanya yang memelas.
Aku terpana menatapnya, ingin sekali aku memeluknya namun aku tidak
mempunyai keberanian, aku hanya berani menatapnya, memandangnya saja.
Tante Sandra mengangkat kedua tangannya, mengarahkannya ke kedua
payudaranya, memegangnya. Aku hanya berani menatapnya, kulihat ia
meraba-raba kedua payudara yang montok, besar, putih dan kencang itu,
meremas-remasnya sendiri, meraba kedua putingnya. Aku hanya terpaku
menatapnya.
Tak lama kemudian Tante Sandra mengangkat badannya, beringsut seakan
menghampiri diriku, memindahkan posisi badannya, kini kepala beliau
berada di dekatku. Tersenyum menatapku, seakan ingin mengajakku
berbicara, namun tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Ia hanya
menatapku tajam, menghampiri diriku yang terpaku didekatnya.
Didekatinya diriku, mendudukkan dirinya, dirangkulnya bahuku,
mendekatkan wajahnya ke wajahku. Kurasakan hawa napas memburu di
wajahku, hembusan napas tak teratur keluar dari hidung Tante Sandra,
semakin dekat dan semakin panas. Entah aku harus bertindak apa, aku
hanya diam terpaku, malah kini kurasakan bibirnya menyentuh bibirku,
menempel dan mengecup perlahan. Aku membuka mulutku ketika kurasakan ada
dorongan lidah keluar dari mulutnya, kumiringkan wajahku dan tanpa aku
sadari aku membalas ciumannya.
Kami berciuman lama sekali, tanganku tanpa kusadari ikut bermain,
memeluk punggungnya, mengarahkan kebelakang kepalanya, agar lebih
menekannya untuk memberikan tekanan agar lebih merapat ke kepalaku.
Entah dari mana datangnya keberanian aku memegang bahunya, mendorongnya
kebelakang, jatuh terlentang, menjauh dariku.
Namun itu bukanlah penolakan dariku, aku kini malah menindihnya,
memeluknya dengan kencang dan kembali menciumi bibirnya. Tante Sandra
tampak terengah-engah, matanya kulihat semakin sayu. Aku memindahkan
ciumanku dari bibirnya, kini kuarahkan kearah lehernya, menciuminya
beberapa saat, dan kini aku memindahkan sasaran ciuman ketempat yang aku
suka. Aku menciumi kedua payudaranya, perlahan berputar mengelilingi
putingnya, dan kemudian mengecup kedua putingnya. Tampak wajah Tante
Sandra makin tidak karuan, desahan-desahan halus terdengar,
mengingatkanku akan desahan-desahan yang kudengar tadi di tempat kerja
Om Herman, desahan Tante Mala.
Aku semakin meradang, kumainkan lidahku di ujung puting kanannya,
sementara kedua tanganku meremas-remasnya, mengecupnya lagi dan kemudian
kuhisap perlahan, perlahan, dan kesentakkan untuk menghisapnya secara
keras. Terdengar lenguhan dari mulut Tante Sandra, sepertinya ia
menikmati permainanku. Dan aku sepertinya ingin memberinya kenikmatan
yang diinginkan, seolah ada rasa dendam dari diriku, ingin membalas
perbuatan Om Herman terhadap Tante Mala, dengan menyetubuhi istrinya.
Kuhentikan sasaranku pada payudaranya, kini kuarahkan ciuman
bertubi-tubi ke arah bawah dadanya, keperutnya, terus kebawahnya. Menuju
gundukan yang menonjol diatas selangkangannya, ditumbuhi bulu-bulu
halus yang cukup lebat. Aku merabanya, merasakan tonjolan daging
tersebut, menciuminya perlahan, kuangkat kepalaku sebentar untuk melihat
ekspresinya, kulihat ia mengengadahkan kepalanya memegang salah satu
kepalanya dengan tangannya, seakan sangat menikmatinya.
Tampaknya Tante Sandra semakin terlena, sekarang kuciumi bagian dalam
pahanya, menelusurinya dengan lidahku, menjilatinya. Bunyi napas tak
teratur diiringi dengan suara lenguhan dan desahan-desahan semakin keras
kudengar, dan semakin membangkitkan gairahku, penisku semakin keras dan
tegang. Kurasakan gelinjang tubuh Tante Sandra, menggeliat-geliatkan
kepalanya ketika lidahku menyentuh bagian dalam selangkangannya.
Kurasakan ada cairan membasahinya, kuraba dengan jari-jariku,
meraba-raba dan mengucek-uceknya perlahan, dan sedikit-sedikit kumainkan
jariku disana.
“ahh.. †kudengar suara desahan semakin jelas, tak ada rasa sungkan
lagi untuk merasakan kenikmatan, tiba-tiba ia bangkit dari posisinya
yang rebahan, mengangkat kepalnya dan mendorongku agar jatuh terlentang,
aku kaget dan khawatir, sepertinya ia hendak menghentikan semua ini.
Namun kekhawatiranku tidak terbukti, kutatap wajahnya, ia menatapku
balik, tak perduli, merangkak melewati kakiku, mendudukkan pantatnya di
atas selangkanganku. Tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat pantatnya
dalam posisi jongkok, memegang penisku yang telah tegang dan mengeras
sejak tadi. Rupanya Tante Sandra sudah tidak sabar, ingin segera
mamasukkan penisku kedalam vaginanya.
Pelan tapi pasti, ia mengarahkan penisku kedalam vaginanya, aku hanya
menatapnya, menunggunya. Meleset sekali, dua kali, dan tak lama
kurasakan penisku seperti memasuki ruang yang sempit, perat mencengkeram
dan basah licin, hangat. Dan tak lama kemudian kulihat tante Sandra
mengangkat dan menurunkan pantatnya berulang-ulang, semakin kurasakan
kenikmatan penuh sensasi ini.
Tante Sandra terus dan terus menaik-turunkan pantatnya, berulang-ulang,
sesekali beliau tidak mengangkatnya namun memutar dan
menggoyang-goyangkannya diatasku, kemudian diangkatnya lagi, terus dan
terus. Kutatap keatas tampak wajahnya menengadah, seakan-akan sangat
menikmatinya, payudaranya yang putih dan ranum dengan putingnya yang
mengeras, coklat kemerah-merahan, memancingku untuk memegang dan
meremas-remasnya, agar kenikmatan yang aku dan dia alami dapat lebih
puas.
Beberapa menit berlalu, tampak Tante Sandra menjerit kecil, sepertinya
beliau sudah mencapai orgasmenya, menjatuhkan badannya diatas dadaku,
memelukku dan menciumiku sambil mengeluarkan suara desahan yang sulit
keterjemahkan. Aku terdiam sambil membalas pelukannya, aku belum merasa
puas, belum merasakan klimaks dari persetubuhan ini, dan aku ingin
mendapatkan lebih.
Kebalikkan tubuh tante Sandra disisiku, kini berbalik aku berada
diatasnya, Tante Sandra sepertinya berusaha mencegahku, mungkin merasa
bahwa ia belum siap setelah orgasmenya tadi, namun aku tak perduli,
segera saja kuarahkan moncong kejantananku ke lobang vaginanya.
Menerobosnya, selagi lubang itu masih dalam keadaan licin, kurasakan
penisku lebih hangat dari sebelumnya, mendorongnya perlahan hingga
kepangkalnya. Pelan-pelan kudorong, dengan menaikkan dan menurunkan
pantatku, sehingga penisku otomatis keluar masuk, bergesek-gesek dengan
vaginanya, semakin lama semakin cepat.
Tampaknya Tante Sandra mulai kembali lagi merasakan kenikmatan, kini
desahan-desahan dan lenguhan-lenguhan mulai menghiasi lagi suara-suara
yang keluar dari mulutnya, dengus napas tak teratur mulai terasa lagi,
aku makin ganas, mengocok-ngocokan penisku didalam vaginanya. Membuatnya
semakin terlena.
Aku menaik-turunkan pantatku, mengocok-ngocokkan penisku didalam
vaginanya, cepat dan semakin cepat. Menindih badannya dengan badanku,
memeluknya erat, diselingi ciuman-ciuman ganas disekujur tubuhnya,
dibibirnya, dilehernya, didadanya. Kadang aku menyentuh, meraba
payudaranya, meremas-remasnya, memainkan putingnya. Memelintirkannya
dengan mulutku, dan kadang menggigit pelan keduanya, bergantian, dan itu
jelas semakin membuatnya kalang kabut tak karuan.
Menggelinjang-gelinjangkan badannya, menggeleng-gelangkan kepalanya
kanan kiri.
Entah ide dari mana, ketika sedang asyiknya memaju mundurkan penisku, tiba-tiba aku menghentikan kegiatanku tersebut.
Tante Sandra memberikan reaksi dengan menjerit perlahan, seolah
memprotes akan apa yang aku lakukan. Aku meringis melihat reaksinya, ia
seolah memohon agar aku melanjutkan apa yang telah aku lakukan,
menggenjotnya kembali. Aku mengiyakannya, namun aku memintanya untuk
membalikkan badannya, menyuruhnya untuk menungging, mengangkat pantatnya
membelakangiku dan aku akan mengarahkan penisku dari belakang, ke
lobang vaginanya.
Ia menurutiku, membalikkan badannya, menungging, diam aku sesaat,
memandang pantat bulat, montok, munjung ini dihadapanku, pantat indah
yang semula hanya menggodaku, dan aku hanya bisa memandangnya saja, kini
telah tersuguh dihadanku, malah menyuruhku untuk merasakannya,
menikmatinya. Aku mengarahkan penisku tanpa menunggu lama, memasukkan
kedalam vaginanya dengan segera, perlahan kudorong dan memasukkannya
sekaligus. Tante Sandra menjerit tertahan, mungkin kaget merasakan
sentakan dari penisku, aku tersenyum kemudian menariknya perlahan,
tampak Tante Sandra terpejam menikmati gerakanku.
Aku memeluknya dari belakang, seakan aku ingin menikmati sekujur
tubuhnya tanpa ada yang terlewatkan. Aku memaju-mundurkan pantatku, agar
penisku yang berada didalam lobang vaginanya bergesekan keluar masuk.
Memeluk sambil menciumi punggungnya, memegang payudaranya dari belakang,
meremas-remasnya dengan kasar, dan tidak ada penolakan apalagi
perlawanan dari Tante Sandra. Kadang tanganku menarik rambut panjangnya
yang tergerai, berusaha memalingkan mukanya agar menghadap diriku,
menyorongkan bibirku agar Tante Sandra merasakannya, menciumi bibirku,
mengadu lidah dengannya.
Tante Sandra seakan mengerti keinginanku, beliau juga sepertinya ingin
mendapatkan sensasi lebih, yang mungkin sering didapatnya dari suaminya
namun tidak dapat memuaskannya. Entah berapa lama kami melakukan itu,
kuakui memang bila dilakukan dari belakang, rasa cengkeraman lobang
vagina terhadap penisku semakin keras, seperti berat untuk dimaju
mundurkan, namun biar bagaimanapun ini harus cepat dilakukan, aku takut
bila sewaktu-waktu, pada saat aku belum mencapai titik puncak
kenikmatan, Tante Mala dan Om Herman datang, entah apa jadinya.
Aku mempercepat goyanganku, cepat, dan semakin cepat, tante Sandra
mungkin tahu akan keinginanku, kulihat beliau juga sudah mendesah-desah
tak karuan, seakan sedang menjelang orgasmenya lagi, ia semakin ganas,
menggoyang-goyangkan pantatnya kekiri dan kekanan, agar cengkeraman
terhadap dedeku mungkin menjadi-jadi, aku kadang menepuk-nepuk dan
meremas-remas pantat besar dengan pinggang kecil ini, menciumi
punggungnya lagi.
Aku kembali menarik kepala Tante Sandra, merengkuhnya agar aku dapat
menciuminya lagi, mungkin kalau ada yang menyaksikan, aku sepertinya
sedang menyiksa wanita ini. Tersenyum aku membayangkannya, sementara
peluh sudah bercucuran membasahi tubuh kami berdua. Aku terus
menggenjotnya… terus….dan terus….
Hinga beberapa waktu kemudian kurasakan denyutan diujung penisku, lava
panas siap memancar, memuncratkan seluruh isinya, sementara Tante Sandra
juga sepertinya akan mengalami hal yang sama. Namun kemudian kulihat
Tante Sandra lebih dulu sampai pada puncak orgasmenya, beliau kulihat
menengadahkan kepalanya, menjerit tertahan dan kemudian menundukkan
kepalanya. Aku takut beliau akan segera menarik pantatnya dari tusukan
penisku, aku memegang pinggangnya, seperti menyuruhnya unuk bersabar
sesaat, memaju mundurkannya dengan cepat, cepat dan makin cepat. Tante
Sandra memahamiku ia membiarkan pantatnya, menggoyang-goyangkannya,
menunggu aku mencapai klimaksku.
Beberapa menit kemudian, kurasakan sesuatu akan melesak keluar dari
lobang penisku, kutarik cepat, menghindari agar muatannya tak tertumpah
didalam. Kupegang erat kukocok-kocokan sebentar, kemudian kumuntahkan
cairan putih kehijau-hijauan kental, ke bokongnya. Sesaat aku memandang
cairan yang menempel dipantatnya, selanjutnya kurebahkan badanku, meraih
tubuh Tante Sandra agar ikut rebah disampingku. Tante Sandra
menempatkan kepalanya di dadaku, tersenyum kepadaku, mencium pipiku,
seakan berterima kasih kepadaku karena telah memberikan kenikmatan
kepadanya serta membalaskan perbuatan OM Herman.
Aku memandang wajahnya, membalas senyumannya, membayangkan bahwa baru
kali ini aku mendapat kepuasan dari seorang wanita paruh baya, yang
sangat cantik, dengan tubuh yang sangat menggiurkan bagi setiap
laki-laki, yang mungkin hanya orang-orang kaya saja yang layak
mendapatkan tubuh seperti ini. Namun hari ini, seorang wanita paruh
baya, yang sangat cantik, bersuamikan seorang pelaku bisnis yang
bonafid, menyerahkan tubuhnya kepadaku, seorang pria yang jauh dari
tampan, dan boro-boro mapan. Terdiam dan melamun aku untuk sesaat,
tiba-tiba kusadari bahwa apabila sekonyong-konyong Tante Mala dan Om
Herman kembali dari perginya dan melihat keadaan kami berdua seperti
ini, mungkin akan fatal dan menambah masalah semakin runyam. Aku
menggeserkan badanku dari badan Tante Sandra, seolah meminta ijin
kepadanya bahwa aku akan meninggalkannya, dan Tante Sandra sepertinya
mengerti, membiarkanku turun dari ranjang.
Aku mengambil bajuku yang berceceran di tempat tidur itu, mengenakannya,
memandang sekilas ke arah kaca, memastikan diri sudah rapi dan berjalan
kearah pintu. Membuka pintu tersebut dan sekali lagi memandang wajah
Tante Sandra, melihatnya tersenyum kepadaku, menutup pintunya dan
berjalan kearah bungalowku.
------------------------------------------------------------------------------------------
Didalam kamar aku merenung membayangkan kejadian-kejadian tadi, masih
terbayang jelas diwajahku, urutan-urutan kejadian dari semenjak kami
datang hingga saat ini. Entahlah, pikiranku sepertinya kosong, aku
berusaha memejamkan mataku, memaksakannya supaya hilang dari
bayangan-bayangan tersebut. Kulihat dari celah-celah gorden, hari telah
menjelang senja. Akhirnya kuputuskan untuk mandi, membersihkan sisa-sisa
yang menempel ditubuhku, menyegarkan badan.
Beberapa menit aku berendam didalam bathtub, kadang aku melamun,
memikirkan sesuatu, namun entah apa, kosong. Aku melanjutkan mandiku,
menggosok-gosokan badan, dengan sabun dan shampoo yang telah disediakan
oleh tempat itu, memastikan bahwa dibadanku tidak ada bekas-bekas
pertempuran tadi. Cukup lama juga aku melakukan ritual ini.
Selesai mandi, dengan hanya menggunakan celana pendek, yang emang telah
biasa aku lakukan sejak dulu, jarang aku menggunakan handuk melilit
ditubuhku bila selesai mandi, lebih nyaman bila aku memakai pakaianku
sejak dari dalam kamar mandi. Aku keluar kamar mandi, terkejut aku
sesaat, karena saat itu disofa telah duduk seorang wanita cantik, sangat
cantik, dengan baju terusan warna hitam, seolah sengaja menungguku
selesai mandi. Aku memang tadi tidak sengaja atau memang terlupa untuk
mengunci pintu kamar bungalow ini, mungkin aku tidak mendengar ada
ketukan ataupun panggilan dari luar, aku melihat kepadanya berusaha
tersenyum agar tidak kelihatan kaget, namun tidak ada balsan senyuman
diwajahnya, hanya memandangku, menunggu aku bertanya dan mengucapkan
kata-kata.
Kumpulan cerita sex terbaru
BalasHapusPhoto hot koleksi pribadi tante lilis
Prediksi Final champions 2013
Tebak juara Champions
Atletico juara liga europa tahun ini
Bungkam madrid, atletico juara copa del rey
Sanggar Senam bugil
Yuk bosku bergabung bersama kami
BalasHapusdi permaianan tebak angka
Telp : +85581569708
BBM : D8E23B5C
Line : togelpelangi
Skype: Togel Pelangi
Link: http://www.togelpelangi.com/